PENYELENGGARAAN JENAZAH
Berawal dari seorang teman yang minta tolong ke saya, dilatarbelakangi kesadaran bahwa kematian walaupun tidak diinginkan pasti akan datang juga waktunya. Oleh karena itu kita kudu mempersiapkan diri untuk menyambut sesuatu yang sudah pasti itu.
Dia bilang kalau sedang ada pengajian yang membahas tentang penyelenggaraan mayit tolong saya diajak, saya mau belajar. Kebetulan pembahasan itu (Ahkamul Janaiz) sudah berlalu, tapi semangat belajar harus didukung dan didorong. Saya coba untuk membantu bagi siapa saja yang ingin belajar menyelenggarakan jenazah.
Berikut bimbingan penyelenggaraan jenazah yang saya ambil dari tulisan Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiantoro
Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Apabila dia salam dan tidak mengqadha’, tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,’Tidak mengqadha’. Dan dikarenakan shalat jenazah merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika berdiri’.” [Lihat Al Mughni (2/511)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena dia mati di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya tersebut. Apabila sudah dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu ketika tidak menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya dalam keadaan yang berbeda. Wallahu a’lam. Dan ini, juga merupakan pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim rahimahullah.” [Lihat Zaadul Ma’ad (1/520)].
Demikianlah yang dapat saya bagikan yang saya ambil dari media salafiyyah, kami juga telah melakukan praktek memandikan dan mengkafani silahkan dicek langsung.
Semoga bermanfaat.
Dia bilang kalau sedang ada pengajian yang membahas tentang penyelenggaraan mayit tolong saya diajak, saya mau belajar. Kebetulan pembahasan itu (Ahkamul Janaiz) sudah berlalu, tapi semangat belajar harus didukung dan didorong. Saya coba untuk membantu bagi siapa saja yang ingin belajar menyelenggarakan jenazah.
Berikut bimbingan penyelenggaraan jenazah yang saya ambil dari tulisan Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiantoro
A. HAL-HAL YANG DIKERJAKAN SETELAH SESEORANG
MENINGGAL DUNIA
1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَلاَ تَقُوْلُوْا إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut,
akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah kalian berkata kecuali dengan
perkataan yang baik, karena malaikat akan mengamini dari apa yang kalian
ucapkan. [HR Muslim].
2. Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya,
setelah dilepaskan dari pakaiannya yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka
auratnya. Dari Aisyah Radhiyallahu a’nha, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ
Dahulu ketika Rasulullah meninggal dunia
ditutup tubuhnya dengan burdah habirah (pakaian selimut yang bergaris).
[Muttafaqun ‘alaih].
Kecuali bagi orang yang mati dalam keadaan
ihram,maka tidak ditutup kepala dan wajahnya.
3. Bersegera untuk mengurus jenazahnya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ
Tidak pantas bagi mayat seorang muslim
untuk ditahan di antara keluarganya. [HR Abu Dawud].
Karena hal ini akan mencegah mayat tersebut
dari adanya perubahan di dalam tubuhnya. Imam Ahmad rahimahullah berkata:
“Kehormatan seorang muslim adalah untuk disegerakan jenazahnya.” Dan tidak
mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya yang dekat apabila tidak
dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh mayit.
Hal ini dikecualikan apabila seseorang mati
mendadak, maka diharuskan menunggu terlebih dahulu, karena ada kemungkinan dia
hanya pingsan (mati suri). Terlebih pada zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran
belum maju seperti sekarang. Pengecualian ini, sebagaimana yang disebutkan oleh
para ulama. [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/330), Al Mughni (3/367)].
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
“Jika ada orang yang bertanya, bagaimana kita menjawab dari apa yang dikerjakan
oleh para sahabat, mereka mengubur Nabi pada hari Rabu, padahal Beliau
meninggal pada hari Senin? Maka jawabnya sebagai berikut: Hal ini disebabkan
untuk menunjuk Khalifah setelah Beliau. Karena Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin yang pertama telah meninggal dunia, maka
kita tidak mengubur Beliau hingga ada Khalifah sesudahnya. Hal ini yang
mendorong mereka untuk menentukan Khalifah. Dan ketika Abu Bakar dibai’at,
mereka bersegera mengurus dan mengubur jenazah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Oleh karena itu, jika seorang Khalifah (Pemimpin) meninggal dunia dan
belum ditunjuk orang yang menggantikannya, maka tidak mengapa untuk diakhirkan
pengurusan jenazahnya hingga ada Khalifah sesudahnya.” [Asy Syarhul Mumti’
5/333].
4. Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang
lain tentang berita kematiannya. Dengan tujuan untuk bersegera mengurusnya,
menghadiri janazahnya dan untuk menyalatkan serta mendo’akannya. Akan tetapi,
apabila diumumkan untuk menghitung dan menyebut-nyebut kebaikannya, maka ini
termasuk na’yu (pemberitaan) yang dilarang.
5. Disunnahkan untuk segera menunaikan
wasiatnya, karena untuk menyegerakan pahala bagi mayit. Wasiat lebih
didahulukan daripada hutang, karena Allah mendahulukannya di dalam Al Qur’an.
6. Diwajibkan untuk segera dilunasi
hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah
dan lainnya. Atau hutang kepada makhluk, seperti mengembalikan amanah, pinjaman
atau yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang mukmin terikat dengan
hutangnya hingga dilunasi. [HR Ahmad, At Tirmidzi, dan beliau menghasankannya].
Adapun orang yang tidak meninggalkan harta
yang cukup untuk melunasi hutangnya, sedangkan dia mati dalam keadaan bertekad
untuk melunasi hutang tersebut, maka Allah yang akan melunasinya.
7. Diperbolehkan untuk membuka dan mencium
wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu anha berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ
Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mencium Utsman bin Madh’un Radhiyallahu ‘anhu , saat dia telah
meninggal, hingga aku melihat Beliau mengalirkan air mata. [HR Abu Dawud dan At
Tirmidzi].
Demikian pula Abu Bakar Ash Shiddiq
Radhiyallahu ‘anhu, beliau mencium Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamn
ketika beliau meninggal dunia.
B. MEMANDIKAN MAYIT
1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi n tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:
1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi n tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ
Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara,
dan kafanilah dengan dua helai kainnya. [Muttafaqun ‘alaih].
2. Orang yang paling berhak memandikan
seorang mayit, ialah orang yang diberi wasiat untuk mengerjakan hal ini.
Seseorang terkadang berwasiat karena ingin dimandikan oleh orang yang bertaqwa,
orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan mayit.
Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu
‘anhu berwasiat supaya dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma’ binti Umais,
kemudian dia (Asma’ binti Umais) mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam
Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.
Setelah orang yang diberi wasiat, orang
yang paling berhak untuk memandikan ialah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian
kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat lelaki). Jika mereka semua sama di dalam
hak ini, maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.
3. Diperbolehkan bagi suami atau isteri
untuk memandikan pasangannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha:
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha:
لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ
Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku
akan memandikan dan mengkafanimu. [HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].
4. Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh
memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].
5. Seorang muslim tidak boleh memandikan
dan menguburkan seorang kafir.
Allah berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Allah berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله
Janganlah engkau menyalatkan seorang yang
mati di antara mereka selama-lamanya, dan janganlah engkau berdiri di atas
kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.[At Taubah:84].
Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu
haram menguburnya seperti mengubur seorang muslim. Akan tetapi kita gali
untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang kafir ke dalam lubang
tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena Rasulullah n memerintahkan untuk
melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar ke dalam
satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar. [HR Al Bukhari di dalam
kitab Al Maghazi].
6. Kaifiyat memandikan jenazah.
Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun.
Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun.
Kemudian dilakukan
istinja’ terhadap mayit dan dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan
wudhu’ seperti wudhu’ ketika akan shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan,
tidak dimasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang
dibasahi dengan air, lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam
hidungnya, kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian
kanan.
Hendaknya dicampurkan daun bidara ke dalam
air. Daun bidara tersebut dipakai untuk membersihkan rambut kepala dan
janggutnya. Pada kali yang terakhir diberi kapur (butir wewangian), karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan demikian kepada para wanita yang
memandikan putrinya. Beliau bersabda: “Ambillah kapur pada kali yang terakhir,
atau sesuatu dari kapur.” Kemudian dikeringkan dan diletakkan di atas kain
kafan. [70 Su’alan Fi Ahkamil Janaiz, Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin, hlm. 6].
7. Tidak diperbolehkan untuk mendatangi
tempat pemandian mayit, kecuali orang yang akan memandikan dan orang yang
membantunya.
8. Ketika memandikan mayit, perlu
memperhatikan hal-hal berikut ini:
Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan, anggota wudhu’nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].
Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan, anggota wudhu’nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].
9. Apabila tidak ada air untuk memandikan
mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau
mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada
mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu)
yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau
yang lainnya.
10. Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang
telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka
hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia
wudhu’. [HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau menghasankannya].
11. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di
medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan
dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.
Dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada’ Uhud dalam (bercak-bercak )
darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. [HR Al Bukhari].
Hukum ini khusus bagi syahid ma’rakah
(orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena
membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap dimandikan, meskipun mereka
juga syahid. Demikian pula orang yang mati karena wabah tha’un, atau karena
penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka
tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/364).
12. Apabila janin yang mati keguguran dan
telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan.
Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’:
وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat,
janin yang mati keguguran), dia dishalatkan dan dido’akan untuk kedua orang
tuanya dengan ampunan dan rahmat. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan
padanya ruh, sebagaimana dalam hadits tentang penciptaan manusia yang
diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud.
C. MENGKAFANI MAYIT
1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu a’nhu :
1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu a’nhu :
إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ
Apabila salah seorang diantara kalian
mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya. [HR Muslim].
Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan
memperbagus kafannya, yaitu yang bersih, tebal, menutupi (tubuh jenazah) dan
yang sederhana. Yang dimaksud bukanlah yang mewah, mahal dan yang indah.”
[Ahkamul Janaiz, 58].
2. Biaya kain kafan diambilkan dari harta
mayit, lebih didahulukan daripada untuk membayar hutangnya. Rasulullah n
bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan ihram:
….وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ
… Kafanilah dia dengan dua bajunya.
[Muttafaqun ‘alaih]
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk dikafani dengan pakaian ihram miliknya sendiri.
Demikian pula kisah Mush’ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud, kemudian
dikafani oleh Rasulullah n dengan pakaiannya sendiri.
3. Disunnahkan untuk dikafani dengan tiga
helai kain putih.
Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.
Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.
Di beri wewangian dari bukhur (wewangian
dari kayu yang dibakar). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا
Apabila kalian memberi wewangian kepada
mayit, maka berikanlah tiga kali. [HR Ahmad].
4. Apabila ada beberapa mayit, sedangkan
kain kafannya kurang, maka beberapa orang boleh untuk dikafani dengan satu
kafan dan didahulukan orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya,
sebagaimana kisah para syuhada Uhud.
5. Kafan seorang wanita sama seperti kafan
seorang lelaki.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.
D. SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)
1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:
1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian. [HR Muslim].
2.Tata cara shalat jenazah.
a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ
Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan
tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni. [HR At Tirmidzi]
b. Kemudian bertakbir yang pertama, membaca
Al Fatihah setelah ta’awwudz, tidak membaca do’a iftitah sebelum Al Fatihah.
Kemudian takbir yang kedua, membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do’a
untuk mayit. Sebaik-baik do’a adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا
Wahai, Allah! Ampunilah orang yang hidup di
antara kami dan orang yang mati, yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak
kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita kami. [HR At Tirmidzi]
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menambahkan:
اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيْمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ
Wahai, Allah! Orang yang Engkau hidupkan di
antara kami, maka hidupkanlah dia di atas keimanan. Dan orang yang Engkau
wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia di atas keimanan. Wahai, Allah!
Janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan
kami sesudahnya. [HR Abu Dawud].
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ
Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan
rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya,
luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju.
Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih
dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga
yang lebih baik dari keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya
semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dari adzab kubur dan adzab
neraka. [HR Muslim dari ‘Auf bin Malik]
Apabila mayitnya seorang wanita, maka
diganti dengan dhamir muannats….
(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا ….)
c. Kemudian takbir yang keempat dan
berhenti sejenak. Kemudian salam ke arah kanan sekali salam.
Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: “Pendapat yang benar, ialah tidak masalah (jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/424)]
Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: “Pendapat yang benar, ialah tidak masalah (jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/424)]
Di antara dalil yang menunjukkan salam dua
kali dalam shalat jenazah, yaitu hadits Ibnu Mas’ud.
ثَلاَثُ خِلاَلٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُنَّ تَرَكَهُنَّ النَّاُس,إِحْدَاهُنَّ التَّسْلِيْمُ عَلَى الْجَنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيْمِ فِي الصَّلاَةِ
“(Ada) tiga kebiasaan (yang pernah)
dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun kebanyakan orang
meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam dalam shalat jenazah seperti
salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi). Maksudnya, dua kali salam seperti yang
telah kita ketahui.
Syaikh Al Albani menyatakan, diperbolehkan
hanya dengan satu kali salam yang pertama saja, karena hadits Abu Hurairah:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىعَلَىالْجَنَازَةِ فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا وَسَلَّمَ تَسْلِيْمَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya Rasulullah dahulu shalat
jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam satu kali. (HR Ad Daraquthni dan
Al Hakim). Al Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul ‘Anbas dari bapaknya dari
Abu Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.
d.Disunnahkan mengangkat tangan pada setiap
kali takbir.
Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya beliau Radhiyallahu anhuma mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu’, karena hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil ijtihadnya.
Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya beliau Radhiyallahu anhuma mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu’, karena hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil ijtihadnya.
Ibnu Hajar berkata: “Terdapat riwayat
shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau mengangkat tangannya pada seluruh
takbir jenazah.” [Diriwayatkan oleh Sa’id, di dalam At Talkhishul Habir
(2/147)].
3.Tidak diperbolehkan shalat jenazah pada
tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat.Yaitu ketika matahari terbit
hingga naik setinggi tombak, ketika matahari sepenggalah hingga tergelincir dan
ketika matahari condong ke barat hingga terbenam. Ini disebutkan sebagaimana di
dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir.
4. Bagi kaum wanita, diperbolehkan untuk
menyalatkan jenazah dengan berjama’ah. Dan tidak mengapa apabila shalat
sendirian, karena dahulu Aisyah Radhiyallahu anhuma menyalatkan jenazah Sa’ad
bin Abi Waqqash.
5. Apabila terkumpul lebih dari satu
jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita, maka boleh dishalatkan dengan
bersama-sama. Jenazah lelaki meskipun anak kecil, diletakkan paling dekat
dengan imam. Dan jenazah wanita diletakkan ke arah kiblatnya imam. Yang paling
afdhal di antara mereka, diletakkan di dekat adalah yang paling dekat dengan
imam.
6.Dalam menyalatkan mayit, disunnahkan
dengan jumlah yang banyak dari kaum muslimin. Semakin banyak jumlahnya, maka
semakin baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
Tidaklah seorang yang mati, kemudian
dishalatkan oleh kaum muslimin, jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya
mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa’at untuknya. [HR
Muslim].
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ
Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian
dishalatkan oleh empatpuluh orang yang tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah
akan memberikan syafa’at kepada mereka untuknya. [HR Muslim].
7. Apabila seseorang masbuq setelah imam
salam, maka dia meneruskan shalatnya sesuai dengan sifatnya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Apabila dia salam dan tidak mengqadha’, tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,’Tidak mengqadha’. Dan dikarenakan shalat jenazah merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika berdiri’.” [Lihat Al Mughni (2/511)].
8. Apabila tertinggal dari shalat jenazah
secara berjama’ah, maka dia shalat sendirian selama belum dikubur. Apabila
sudah dikubur, maka dia shalat jenazah di kuburnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu ketika setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu bulan. Beliau tidak memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma’ad (1/512)].
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu ketika setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu bulan. Beliau tidak memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma’ad (1/512)].
Jadi diperbolehkan shalat jenazah di
kuburan mayat tersebut dan tidak ada batas waktu tertentu, dengan syarat bahwa
ketika mayat tersebut mati, orang yang menyalatkan sudah menjadi orang yang sah
shalatnya.
9. Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat
yang belum di shalatkan di tempatnya semula. Karena Nabi menyalatkan Raja
Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengetahui berita kematiannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena dia mati di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya tersebut. Apabila sudah dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu ketika tidak menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya dalam keadaan yang berbeda. Wallahu a’lam. Dan ini, juga merupakan pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim rahimahullah.” [Lihat Zaadul Ma’ad (1/520)].
10. Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat
yang dibunuh karena ditegakkan hukum Islam atas diri si mayit. Sebagaimana di
dalam hadits Muslim tentang kisah wanita Juhainah yang berzina, kemudian
bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyalatkannya.
11. Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli
ilmu dan tokoh agama tidak menyalatkan orang yang mencuri harta rampasan
perang,atau orang yang mati bunuh diri.
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan seorang yang mencuri harta rampasan perang, akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan seorang yang mencuri harta rampasan perang, akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian. [HR Abu
Dawud].
Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mau menyalatkan orang yang mati karena bunuh diri. Dari Jabir bin Samurah
Radhiyallahu ‘anhu , berkata:
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Seseorang yang membunuh dirinya dengan anak
panah didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau
tidak mau menyalatkannya. [HR Muslim].
Hal ini karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai imam (pemimpin), maka Beliau tidak mau menyalatkan
supaya menjadi pelajaran bagi orang yang semisalnya. Akan tetapi, bagi kaum
muslimin wajib untuk menyalatkannya.
12. Demikian pula bagi orang yang mati
sedangkan dia meninggalkan hutang, maka dia juga dishalatkan.
13. Shalat jenazah boleh dikerjakan di
dalam masjid. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha , beliau berkata:
وَاللهِ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ بْنِ بَيْضَاءَ وَأَخِيْهِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ
Demi, Allah! Tidaklah Nabi n menyalatkan
jenazah Suhail bin Baidha’ dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid. [HR
Muslim].
Akan tetapi, yang afdhal, dikerjakan di
luar masjid, di tempat khusus yang disediakan untuk shalat jenazah, sebagaimana
pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [Lihat Ahkamul Janaiz (106),
Asy Syarhul Mumti’ (5/444)]
Demikianlah yang dapat saya bagikan yang saya ambil dari media salafiyyah, kami juga telah melakukan praktek memandikan dan mengkafani silahkan dicek langsung.
Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar